Mengapa Membaca Tempo Harus Bayar
Media
ADA teman bertanya dengan masygul setengah meledek: mengapa hampir tiap pekan—terutama jika isinya sensitif—konten majalah Tempo selalu bocor? Sebagai pelanggan yang membayar, dia masygul karena isi majalah Tempo ia terima di grup WhatsApp secara gratis. Sebagai teman yang kritis, ia heran mengapa Tempo tak bisa mengatasi problem ini bertahun-tahun.
Jawabannya: isi Tempo tidak bocor. Yang terjadi di Tempo adalah dibocorkan. Oleh siapa? Oleh pelanggan berbayar seperti teman saya itu, yang merasa liputan yang ia baca begitu penting sehingga seluruh dunia harus tahu. Sharing is caring.
Dengan teknologi membaca di gawai, ia bisa menyalin konten di majalah Tempo lalu memindahkannya ke Microsoft Word kemudian ia ubah jadi dokumen pdf. Teknologi bawaan gawai ini tak bisa dibendung meski para programmer di Tempo sudah mematikan fasilitas copas atau comot-pasang (copy-paste)—sebetulnya proteksi ini membuat membaca berita di Tempo tidak nyaman. Lagi pula, tanpa disalin pun pembocor bisa memakai fasilitas screenshoot lalu susun hasilnya kemudian ubah jadi pdf.
Dokumen itu lalu “forwarded many times” karena beredar di grup-grup WhatsApp. Hampir setiap pekan, tiap kali ada liputan-liputan menghebohkan. Terakhir, dua pekan lalu, soal dugaan penyimpangan uang donasi di Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT).
Tiap kali ada “pdf Tempo” beredar, teman-teman di Tempo acap mendapat pertanyaan serupa: apakah dokumen ini dari Tempo? Jawaban: tidak! Tempo tidak lagi menjual pdf. Distribusi majalah memakai pdf sudah berhenti. Tadinya ada pdf lewat Gramedia digital. Kini konten majalah Tempo hanya tersedia di aplikasi Tempo Media, di web majalah.tempo.co, dan versi cetak.
Atau dalam versi lain: beberapa web menyalin isi majalah Tempo lalu menyiarkannya. Para pengurus web ini mendapat limpahan pembaca dan mungkin iklan Google.
Mengapa Tempo menyediakan berita dengan cara berbayar yang ribet seperti itu? Karena Tempo ingin mempertahankan independensi.
Sebagai wartawan, saya senang jika liputan saya dibaca banyak orang dan berdampak pada perubahan yang lebih baik. Meski tugas wartawan hanya menulis melaporkan fakta, diam-diam para wartawan ingin juga hasilnya berdampak luas. Setidaknya membuat orang lain jadi tahu bahkan jadi pintar setelah membaca berita.
Karena itu jika ada pdf Tempo beredar, dalam hati kecil saya senang. Itu berarti liputan saya, liputan kami, liputan para wartawan Tempo, dibaca banyak orang. Siapa tahu sampai juga kepada pejabat yang punya kewenangan membuat kebijakan tapi tak berlangganan Tempo lalu jadi insaf setelah membacanya. Siapa yang tahu.
Tapi dalam hati besar dongkol juga. Rasanya seperti habis menyusun lego robot berpekan-pekan atau berbulan-bulan dengan begadang dan kurang makan, lalu seseorang menyenggolnya setelah robot itu siap dinilai juri. Setelah itu penyenggolnya menyusun kembali lego itu alakadarnya. Pokoknya terlihat seperti robot.
“Pdf Tempo” yang beredar itu gratisan. Siapa saja bisa membacanya di gawai. Padahal, untuk mengakses Tempo harus berbayar. Paket paling murah Rp 58.000 sebulan, seharga segelas Cappuccino di Starbucks. Bandingkan jika Anda membeli edisi cetak Rp 50.000 per edisi setiap pekan. Kenapa versi cetak lebih mahal? Karena versi cetak butuh investasi mesin, butuh kertas, butuh pegawai yang melipatnya, butuh orang yang menjaga kualitas tinta, butuh seregu tim di luar redaksi.
Mengapa, sekali lagi, membaca Tempo harus berbayar? Bukankah Tempo ingin Indonesia lebih baik sehingga makin banyak orang membacanya makin besar dampaknya? Mengapa tidak digratiskan saja? Sekali lagi, sebagai personal, saya setuju dengan pendapat ini. Jika kita ingin melawan hoaks yang gratis, informasi kredibel juga harus sama gratisnya, bukan?
Sayangnya, jurnalisme tidak berada di ruang kosong. Berita tidak ujug-ujug ada di gawai Anda tanpa melewati proses yang rumit dan berbelit. Di belakang liputan ACT itu ada sebuah tim yang kurang tidur, ada kepala desk yang senewen, ada editor yang misuh-misuh karena kurang data, ada reporter yang kena damprat, mungkin ada suami atau istri atau anak-anak yang kurang kasih sayang karena ayah dan ibunya sibuk memelototi angka, dokumen, memilah informasi untuk diverifikasi.
Setelah liputan komplet pun, ceritanya masih harus ditulis dengan rapi, diperiksa koherensi fakta-faktanya, ditimbang apakah liputan itu akan mengirim penulisnya ke penjara atau tidak, diperiksa aspek bahasanya, kemudian dilayout oleh para desainer, dibubuhi gambar-gambar, dipoles dengan infografik, agar enak dilihat dan dibaca, sehingga berita tak membosankan.
Layout yang bagus itu kemudian dicetak dan didistribusikan ke agen dan toko buku. Majalah naik pesawat agar sampai ke tangan pembaca tepat waktu di banyak daerah. Manajemen Tempo menganggap proses panjang dan kerja keras para wartawan dan seluruh divisi di perusahaan ini cukup ditebus dengan segelas Cappuccino, setiap bulan.
Tempo bermimpi suatu saat, kerja-kerja jurnalisme sepenuhnya hanya dibiayai oleh pembaca, tak lagi mengandalkan iklan. Sebab, iklan yang kian intrusif itu gampang menggelincirkan independensi. Di Tempo ada “garis api” yang memisahkan kerja pencari iklan dengan wartawan yang menulis berita. Maka tak sekali-dua, di edisi yang sama liputan tentang penyelewengan sebuah proyek bersanding dengan artikel iklan yang memuji-muji proyek itu.
Iklan, meski datang secara terpisah dari kerja wartawan, tetap saja membuat media menjadi ketergantungan dan gampang jadi alat tunggangan mereka yang punya kepentingan. Uang iklan itu diolah menjadi upah untuk wartawan agar tenang bekerja menelisik sebuah perkara yang merugikan publik. Jika iklan itu tak ada, para wartawan tak punya ongkos taksi untuk mengejar-ngejar para narasumber.
Publik atau pembaca adalah harapan media bisa terus independen. Sebab, independensi adalah nyawa sebuah media. Tanpa independensi, berita tak akan lagi dipercaya pembaca. Informasi akan selalu dianggap pesanan si ini si itu. Kerja wartawan harus bebas dari kepentingan, bahkan bebas dari kecemasan pada diri sendiri karena bisa melahirkan self-censorship. Sekali seorang wartawan cemas karena memikirkan periuk nasi, misalnya, mereka akan bias dalam mencari, memilah, dan menyajikan informasi.
Janet Steele, profesor jurnalisme dari George Washington University, menemukan gejala unik ketika menyusun riset untuk biografi Tempo “Wars Within” pada akhir 1990-an. Ia menemukan cara wartawan Tempo menulis sebuah konflik sosial berpihak pada orang miskin dan tertindas memudar seiring kesejahteraan yang meningkat. Bias memang tidak datang terang-terangan.
Di Jerman, ada koran Taz atau Die Tageszeitung yang hampir bangkrut lalu ditolong oleh pembaca dengan patungan membiayai kerja-kerja para wartawannya (baca ceritanya di sini). Koran kiri-liberal pendukung Partai Hijau dan antimiliterisme ini kembali terbit dengan uang patungan itu diganti menjadi saham. Jadilah, pemegang saham koran ini adalah para pembacanya.
Indonesia mungkin masih jauh agar bisa seperti itu, yakni tumbuhnya kesadaran para pembaca berita mendukung kerja-kerja media. Tempo memulainya dengan menyediakan berita lewat platform berbayar. Belum berhasil, tapi ini ikhtiar menjaga independensi yang menjadi prinsip dasar dalam jurnalisme.
Jika Anda ingin mendukung Tempo terus menulis berita berkualitas, klik di sini.