Nandito Putra, calon reporter Tempo 2024, menceritakan pengalamannya berkenalan dengan media ini. Bermula dari membaca edisi khusus Tan Malaka.

" /> Nandito Putra, calon reporter Tempo 2024, menceritakan pengalamannya berkenalan dengan media ini. Bermula dari membaca edisi khusus Tan Malaka.

" /> Nandito Putra, calon reporter Tempo 2024, menceritakan pengalamannya berkenalan dengan media ini. Bermula dari membaca edisi khusus Tan Malaka.

">

maaf email atau password anda salah

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini

Satu Akun, Untuk Semua Akses

atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Masukan alamat email Anda, untuk mereset password

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke [email protected].

Ubah No. Telepon

Ubah Kata Sandi

Topik Favorit

Hapus Berita

Apakah Anda yakin akan menghapus berita?

Ubah Data Diri

Jenis Kelamin

Status

Ubah Data Diri

Form Pendaftaran Event

Alert

Apakah Anda yakin akan menghapus berita?

Tan, Saya, dan Tempo

Kamis, 02 Januari 2025 | 11:47 WIB

Gedung Tempo di Jalan Palmerah Barat nomor 8, Jakarta. Foto/Subekti

Nandito Putra, calon reporter Tempo 2024, menceritakan pengalamannya berkenalan dengan media ini. Bermula dari membaca edisi khusus Tan Malaka.

 

PERTAMA kali saya mengetahui Tempo secara tidak sengaja lewat edisi khusus yang membahas Tan Malaka. Kejadiannya sekitar pertengahan 2012, saat saya masih duduk di bangku kelas satu sekolah menengah pertama di Pariaman. Majalah itu telah lama menarik perhatian saya saban mengunjungi perpustakaan sekolah kami yang lembab dan banyak buku dimakan rayap. 

Di kulit muka majalah itu, potret Tan digambarkan dengan posisi menyerong ke samping, sambil memegang buku yang di ujungnya tampak nyala lidah api. Selain menyukai kisah Tan Malaka, berkat sampul majalah yang begitu apik itulah, saya akhirnya “menyelamatkan” majalah tersebut dari perpustakaan yang kondisinya makin mengkhawatirkan.

Di perpustakaan sekolah kami, ada dua majalah Tempo edisi Tan Malaka. Yang satu masih bersampul lengkap, satu lagi tanpa kulit muka. Tentu saja saya “menyelamatkan” yang masih bagus. Koleksi buku dan majalah di perpustakaan itu sudah banyak yang rusak, bahkan sebelum gempa besar Sumatera Barat 2009 menghancurkan sebagian besar bangunan perpustakaan. 

Hal lain yang membuat saya tertarik dengan majalah Tempo edisi Tan Malaka itu adalah wajahnya yang digambarkan sangat mirip dengan Ungku Labai, guru mengaji saya di surau. Ungku pandai sekali bermain talempong dan bersilat. “Apakah Ungku Labai berkerabat dengan Tan?” tanya saya suatu waktu. Ungku tak menjawab sepatah katapun. Dia menatap wajah saya lama sekali. Saya pikir beberapa pukulan rotan akan mencium pangkal paha saya gara-gara pertanyaan itu. Tanpa pikir panjang, saya langsung lari terbirit-birit. Sejak saat itu saya tak pernah lagi bertanya soal Tan kepadanya.

Di kelas, guru sejarah kami tak pernah menyinggung sedikitpun nama Tan. Kalau ditanya siapa saja pahlawan yang orang Minang, kawan saya saling dulu mendahului menyebut Hatta, Agus Salim, Muhammad Yamin, Sutan Sjahrir. Bahkan ada yang melontarkan nama Ahmad Yani, hanya karena nama jenderal yang pernah bertugas menumpas pergolakan PRRI di kampung kami itu menjadi nama jalan terlebar dan ramai di Pariaman. Nama Tan Malaka hampir tak pernah disebut. Waktu itu saya berpikir, Tan Malaka memang benar-benar telah dilupakan, seperti tajuk di sampul edisi khusus Tempo itu: Bapak Republik yang Dilupakan. 

Bagi seorang bocah SMP, tak sukar membaca dan menikmati cerita yang dituliskan di edisi itu. Walaupun banyak konteks sejarah dan peristiwa yang tidak saya pahami, saban datang ke perpustakaan, saya selalu menyempatkan waktu barang sebentar membacanya. Ia ditulis dengan begitu menyenangkan. 

Sejak saat itu, hasrat saya untuk mengenal Tan sudah terpenuhi lewat majalah Tempo. Di rumah, tak ada banyak buku yang bisa menjelaskan. Saya baru kenal Internet melalui warung internet ketika SMA. Dan sialnya, ketika SMA, saya tidak sempat menggali lebih jauh Tan Malaka, juga Tempo.  Saya justru sibuk bermain game di warnet.

 Di masa SMA itu, saya berkenalan dengan istilah “wartawan”. Kata ibu, wartawan adalah orang-orang yang menulis di majalah. Saya lalu menimpali, ingin pula bekerja sebagai wartawan. Alasannya saya menyenangi cerita dan juga kegiatan tulis menulis. Ibu saya bilang, “jadi apa sajalah asalkan berguna bagi masyarakat.” Namun keinginan menjadi wartawan memudar seiring berjalannya waktu.

Saya melewati masa SMA dengan biasa-biasa saja. Lalu kuliah di kampus yang tidak pernah saya impikan. Keinginan menjadi wartawan pelan-pelan kembali muncul ketika saya pertama kali bergabung dengan pers mahasiswa pada 2017. Di sekretariat, ada banyak edisi majalah Tempo. Saya membacanya satu demi satu. Lucunya, hampir semua rubrik “Catatan Pinggir” di majalah-majalah itu lenyap! Sepertinya seorang senior sengaja mengguntingnya untuk dikoleksi.

 Dari situlah saya baru menyadari bahwa Tempo–yang saya baca pertama kali beberapa tahu sebelumnya–tidak hanya menulis tentang Tan Malaka. Saya kembali teringat dengan cita-cita semasa SMP: menjadi wartawan, tapi kini lebih jelas lagi, menjadi wartawan Tempo.

 Kesempatan mendaftar sebagai wartawan Tempo akhirnya datang pada Juli 2023. Ibu awalnya ragu-ragu mengizinkan saya merantau ke Jakarta. Ia menyarankan agar saya belajar yang tekun supaya lolos tes calon pegawai negeri sipil (CPNS). Saya mengiyakan saran ibu sambil diam-diam mengikuti seleksi calon reporter Tempo.

Masa depan yang awalnya tampak berkabut bagi saya, pelan-pelan mulai terang. Sebelum masuk Tempo saya memulai karir wartawan profesional di Langgam.id, lalu Tribunpadang.com dan beberapa kali menulis di harian Padang Ekspres

Sejak wawancara tahap akhir bersama Anton Septian, redaktur eksekutif Tempo, saya tak pernah mendapat kabar apakah diterima atau ditolak. Saya menunggu sekitar empat bulan sebelum akhirnya dipanggil menjadi calon reporter. Staf sumber daya manusia Tempo memberi kabar bahwa saya masuk kandidat daftar tunggu.

Juni 2024 adalah untuk pertama kalinya saya resmi sebagai reporter. Karena bergabung di tengah proses pendidikan calon reporter angkatan 2023 yang tengah berjalan, saya direkrut dengan status sebagai karyawan kontrak unit untuk kompartemen Ekonomi Bisnis. Ini masalah baru, sebab saya tidak pernah meliput isu ekonomi.

Tapi toh hasrat saya untuk menjadi wartawan di Tempo terus menyala. Saya menjalani tugas sebagai reporter ekonomi meski harus belajar banyak hal dari nol. Barulah, pada September
2024, saya resmi menyandang status calon reporter dan bergabung dengan 18 orang lainnya yang berasal dari daerah lain di Indonesia.

Pelan-pelan saya banyak menyerap ilmu dari wartawan yang lebih senior. Hal yang menyenangkan dan tidak saya sangka adalah proses pendidikan di Tempo. Selain bekerja di lapangan mencari berita, saban dua pekan sekali, kami dikumpulkan di kantor, mendapatkan evaluasi dan pembelajaran tentang jurnalistik dan bagaimana menjadi wartawan profesional.

Belakangan ini, beberapa kawan bertanya kepada saya, “mau sampai kapan jadi wartawan?” Atau “mengapa memilih menjadi wartawan?” Itu adalah pertanyaan-pertanyaan yang sulit saya jawab. Begitu juga ketika ibu suatu ketika kembali menyinggung, apakah saya berminat mencoba mendaftar tes CPNS. 

Kepada ibu, saya berkata, hidup akan baik-baik saja meski saya tidak menjadi PNS. Saya pun  mengingat kembali pesan ibu bertahun-tahun sebelumnya. “Jadi apa sajalah, asalkan berguna bagi masyarakat.”