Alif Ilham Fajriadi, calon reporter Tempo angkatan 2024

" /> Alif Ilham Fajriadi, calon reporter Tempo angkatan 2024

" /> Alif Ilham Fajriadi, calon reporter Tempo angkatan 2024

">

maaf email atau password anda salah

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini

Satu Akun, Untuk Semua Akses

atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Masukan alamat email Anda, untuk mereset password

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke [email protected].

Ubah No. Telepon

Ubah Kata Sandi

Topik Favorit

Hapus Berita

Apakah Anda yakin akan menghapus berita?

Ubah Data Diri

Jenis Kelamin

Status

Ubah Data Diri

Form Pendaftaran Event

Alert

Apakah Anda yakin akan menghapus berita?

Keputusan Besar Hijrah 1.289 Kilometer dari Rumah

Rabu, 19 Februari 2025 | 22:13 WIB

Calon reporter Tempo angkatan 2024. Dok. Pribadi

Alif Ilham Fajriadi, calon reporter Tempo angkatan 2024 menceritakan soal keputusannya meninggakan kampung halaman dan kemudian bergabung dengan Tempo.

 

September 2023, saya membuat keputusan terbesar dalam hidup. Memutuskan mengundurkan diri setelah satu tahun lebih bekerja sebagai jurnalis di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat. Ada perasaan gamang dan bimbang saat saya mengambil keputusan itu. Pertanyaan demi pertanyaan berkelindan di kepala. Apakah saya bakal mendapat pekerjaan baru di tanah rantau?

Singkat cerita, saya memesan tiket bus sekali jalan dengan tujuan Jakarta. Perjalanan 26 jam melewati empat provinsi menuju kota metropolitan ini mulanya terasa bak mimpi. Tak terbayang sebelumnya saya akan merantau dengan jarak 1.289 kilometer dari rumah di usia yang belum genap 25 tahun kala itu.

“Ini adalah perjalanan baru untuk hidup puluhan tahun ke depan. Ada atau tidak ada harapan, doa Ibu pasti akan mampu merayu Tuhan,” gumam saya di atas kapal saat melintasi Selat Sunda, 29 September 2023.

Gedung-gedung tinggi menyambut saya di Jakarta. Riuh klakson kendaraan yang bersahutan menandakan betapa padatnya kota ini. Saya, seorang pemuda Minang yang baru pertama kali menjejak Ibu Kota, dengan menenteng dua tas berisi pakaian sedang bertaruh harapan di sini.

Hidup memang penuh hal-hal tak terduga. Saya mengutip pernyataan penulis idola saya, Dea Anugrah, bahwa hidup begitu indah dan hanya itu yang kita punya. Percaya atau tidak, kutipan ini berhasil menenangkan saya setelah hampir satu bulan tak dapat pekerjaan di perantauan.

Akhir November 2023 seorang kawan bernama Annisa Febiola yang bekerja di Tempo menanyakan kabar saya. Dia menawari pekerjaan menjadi jurnalis. Saya kaget tak terkira. Diri ini merasa belum mampu menyandang gelar sebagai jurnalis Tempo. Tapi, karena belum punya pekerjaan lain, saya memberanikan diri untuk mengiyakan tawaran itu. Saya lalu menitipkan protofolio sederhana kepada Annisa.

Tak disangka, saya dipanggil untuk wawancara kerja. Dalam sesi itu, saya bertemu dengan Sunudyantoro, redaktur senior Tempo. Dia menanyakan pengalaman kerja dan pandangan saya soal Tempo saat wawancara itu. Awalnya saya memanggil dia Bapak. “Kamu jangan panggil Pak, di Tempo tak ada panggilan begitu. Kita di sini saling menyapa Mas/Mbak antar-sesama. Supaya egaliter,” kata Cak Sunu—panggilan akrabnya.

Wawancara berhenti ketika saya menyatakan bergabung di Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Dia bilang AJI dan Tempo punya kesamaan ideologi. Dia percaya anggota AJI mampu bertahan di Tempo yang melarang jurnalisnya untuk menerima amplop alias jale dari narasumber.

Sebetulnya kala itu saya kurang yakin bisa diterima di Tempo. Saya bertanya-tanya sendiri, mengapa begitu mudah masuk ke media ini. Saya sempat meragukan kemampuan sebagai jurnalis. Apakah saya bisa memenuhi standar Tempo, atau malah hanya berujung membuat malu organisasi saya. Tapi saya berusaha meyakinkan diri sendiri. “Tak perlu takut, ini adalah tantangan.”

Pagi berganti malam saya lalui. Di Tempo saya mulai bekerja sebagai jurnalis teknologi. Ini jadi tantangan baru, karena di kantor sebelumnya, saya tak pernah sekalipun menulis soal gadget, teknologi kecerdasan buatan, mendalami topik kejahatan siber, sampai bertemu dengan seorang hacker. Namun saya mendapatkan ruang untuk belajar. Meski sempat kelabakan, tapi saya mampu juga menuntaskan tugas dari editor.

Budaya egaliter di Tempo membuat saya bersyukur menjadi bagian dari media ini. Tak cuma itu, dua kali sepekan, saya dan para reporter lain wajib menghadiri kelas. Topiknya beragam, mulai dari soal penulisan, kode etik, teknik menembus narasumber, hingga membedah angle tulisan. Menurut saya, kelas inilah yang menjadi pembeda Tempo dengan media yang lain. Tempo tak sekadar menggaji jurnalisnya, namun juga mendidik agar menjadi lebih baik.

Dalam perjalanan saya bersama Tempo, ada sebuah peristiwa penting terjadi. Tempo berbenah. Media ini mengubah konsepnya menjadi single brand. Semua tim dilebur, tak ada lagi istilah “anak majalah” atau “anak online.” Berita harian tayang di halaman yang sama dengan berita mingguan, Tempo.co. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pembaca mengakses berita khas Tempo yang mendalam dan investigatif.

Konsep baru single brand ini membuka kesempatan lebih luas bagi saya untuk berkarya. Meski bekerja sebagai wartawan teknologi, saya akhirnya merasakan menulis berita yang berkaitan dengan isu lingkungan. Sebab, berkat peleburan, desk Teknologi dilebur dengan desk Sains dan Lingkungan. Di desk ini saya bekerja dengan Agoeng Wijaya selaku redaktur pelaksana. Enam bulan lebih saya bekerja di desk ini sebelum akhirnya mendaftar sebagai calon reporter Tempo angkatan 2024.

Lho, mengapa mendaftar lagi? Bukankah sebelumnya sudah bekerja di Tempo? Di media ini saya masuk sebagai reporter kontrak yang diplot hanya bekerja untuk satu desk. Sementara, seorang calon reporter akan mengikuti jenjang pendidikan dan karier yang lebih luas. Per tiga bulan sekali, calon reporter akan dipindah ke desk atau kompartemen lain, sampai akhirnya kami diangkat menjadi karyawan tetap.

Setelah lolos tes calon reporter, saya bertemu teman-teman baru. Total ada 19 orang calon reporter angkatan 2024. Saya mengagumi mereka, karena berasal dari berbagai latar belakang. Ada yang memang baru lulus kuliah, ada yang pernah jadi jurnalis di media lain, ada juga yang pernah bekerja menjadi periset, dan lain-lain.

Tugas pertama saya sebagai calon reporter dimulai di desk Nasional dan Politik. Di sini saya kembali mendapatkan pengalaman baru: mewawancarai politikus, pejabat, hingga pakar politik Tanah Air. Kebetulan, saat pertama masuk ke desk ini, rangkaian pemilihan gubernur Jakarta sedang berlangsung. Saya pun kebagian tugas mengikuti pasangan Pramono Anung dan Rano Karno selama masa kampanye. Di samping tugas itu, saya juga diminta menjaga “pos liputan” di Balai Kota Jakarta. Saya akui, pekerjaan ini melelahkan, tapi gairah untuk menjadi jurnalis memberikan diri ini kekuatan untuk tetap bertahan.

Tahun berganti, di awal 2025 saya dipindahkan ke desk Hukum dan Kriminal. Bertemu rekan kerja dan narasumber baru. Di desk ini, setiap hari saya harus berhadapan dengan aparat hukum sebagai narasumber. Dengan karakter yang berbeda, maka pendekatan dan cara berkomunikasinya pun berbeda.
Suatu ketika, saya mengirim pesan kepada ayah di Pariaman, mengabari kalau baru pindah tugas ke desk Hukum dan Kriminal. Ayah senang dan bangga membaca pesan itu. Dia mengatakan akan terus mendoakan saya. Dia meminta saya untuk menjaga amanah dan terus menjunjung tinggi prinsip dalam bekerja.

Baru sepekan menjadi jurnalis di desk Hukum dan Kriminal, saya mendapat kesempatan untuk menulis berita panjang untuk penerbitan harian, yang dulu disebut Koran Tempo. Semasa menjadi wartawan lingkungan, saya pernah menulis untuk penerbitan harian, tapi isu hukum dan kriminal juga tak kalah memusingkan. Ini menjadi tantangan tersendiri buat saya.


Hari demi hari menjadi wartawan Tempo saya lalui dengan berbagai tantangannya. Saya hampir lupa, bahwa dulu saat pertama kali hendak merantau, lalu kemudian mendaftar ke Tempo, saya pernah merasa amat risau dan meragukan kemampuan diri sendiri. Tapi, hari ini, di sebuah kedai kopi di daerah Senopati, Jakarta Selatan, ditemani segelas es kopi Americano, saya bersyukur karena tak memilih mundur hanya karena takut dan ragu.

deskripsi gambar
deskripsi gambar

Live

15 January 2025 | 19.00

Pagar makan lautan

Siapa yang memasang pagar di pesisir laut Tangerang?

Lihat Event Lainnya