maaf email atau password anda salah

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini

Satu Akun, Untuk Semua Akses

atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Masukan alamat email Anda, untuk mereset password

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke [email protected].

Ubah No. Telepon

Ubah Kata Sandi

Topik Favorit

Hapus Berita

Apakah Anda yakin akan menghapus berita?

Ubah Data Diri

Jenis Kelamin

Status

Ubah Data Diri

Form Pendaftaran Event

Alert

Apakah Anda yakin akan menghapus berita?

Keterusterangan yang Menyelamatkan

Rabu, 19 Maret 2025 | 13:12 WIB

Calon reporter Tempo di kantor Tempo, Maret 2025. Dok. Pribadi

Saya tak menyesal menjawab jujur pernah menerima “jale”—barang haram di Tempo, kepada dua redaktur senior yang mewawancarai saya saat seleksi calon reporter di media ini.
.

***

PROSES wawancara seleksi kerja di Tempo berlangsung dalam dua tahap. Tahap pertama, kandidat diwawancarai oleh seorang redaktur muda. Jika lolos, proses berlanjut ke tahap kedua, kandidat bertemu dengan dua redaktur senior.

Saya mengikuti wawancara seleksi kerja untuk menjadi calon reporter Tempo pada 29 Juli 2024 di lantai 3 Gedung Tempo. Di tahap pertama, saya bertemu dua sosok yang familier, Hussein Abri Dongoran dan Khairul Anam. Hussein kerap muncul di Bocor Alus Politik sementara Anam di Jelasin Dong, dua program siniar andalan Tempo.

Saya merasa lega karena diwawancarai Anam, karena raut muka Hussein tampak serius dan intimidatif saat itu. Kesan itu muncul, barangkali karena saya mengenalnya hanya dari tayangan Bocor Alus Politik yang kerap membongkar skandal-skandal politik. Sementara Anam terkesan lebih hangat. Selain itu, saya punya kesamaan dengan Anam, sama-sama berkuliah di Jogja, sehingga obrolan kami lebih “nyambung”.

Usai wawancara dengan Anam, saya merasa lega dan optimistis, bahwa hasilnya akan sesuai harapan. Benar saja, sore harinya, pesan dari rekruiter Tempo mengafirmasi perasaan saya. Saya bisa lanjut ke wawancara sesi kedua, keesokan harinya.

Di sesi kedua, saya mendapat giliran bersama lima dari seratusan orang kandidat calon reporter yang masih bertahan hingga seleksi tahap empat. Dalam wawancara ini, kami menghadapi dua pewawancara. Mereka duduk di lima meja terpisah dalam satu ruangan. Saya diarahkan menuju meja di sudut ruangan, yang ditempati Iwan Kurniawan dan Rusman Paraqbueq, mereka memperkenalkan diri sebagai redaktur senior di desk Jeda dan Nasional.

Sesi wawancara dibuka dengan berbagai pertanyaan untuk menggali alasan saya memilih berkarier di Tempo. Lalu beranjak ke hal-hal yang lebih prinsipil, soal ideologi, pandangan politik, hingga idealisme dalam bekerja.

“Menurutmu Syiah menyimpang atau tidak?” tanya Iwan. Setelah mendengar jawaban saya, dilempar lagi pertanyaan lanjutan, “Bagaimana sikapmu ihwal persekusi terhadap kelompok minoritas?”

“Kamu kan Muhammadiyah, kalau Muhammadiyah mengambil sikap yang salah, apa yang kamu lakukan?”

Saya banyak dicecar soal isu-isu agama. Mungkin pewawancara melihat rekam jejak pendidikan dan organisasi saya yang memang banyak di instansi pendidikan Islam. Kendati begitu saya merasa cukup bisa memberikan respons yang tenang dan cukup lancar. Sampai akhirnya, pertanyaan soal idealisme dalam berkarier mulai mereka lemparkan. Satu dua pertanyaan bisa saya jawab, meski rasanya tidak terlalu meyakinkan mereka. Sampai akhirnya, pertanyaan lain datang.

“Kamu pernah menerima jale?”

Jale adalah sebutan populer di kalangan wartawan untuk amplop atau imbalan atas liputan. Ada yang bilang jale merupakan pelesetan dari kata “jelas”. Kalau dalam suatu acara penyelenggara menyediakan imbalan berupa uang atau materi lainnya, wartawan berseloroh liputan tersebut “jelas”.
Mendengar pertanyaan itu, saya kaget dan perasaan langsung campur aduk. Saya tahu betul Tempo merupakan media dengan sikap yang sangat ketat soal amplop terhadap wartawannya. Tak ada toleransi untuk menerimanya.

Tapi saking riuhnya hari-hari yang saya lewati kala itu, tak terbayang akan mendapatkan pertanyaan itu. Tak ada jawaban layak yang ada di benak. Sebab, sewaktu bekerja di media lain sebelum melamar ke Tempo, saya pernah menerima jale saat liputan.

Sebetulnya saya berrinsip selalu menolak pemberian uang saat liputan. Bahkan pemimpin redaksi saya sebelumnya, pernah memberi wejangan dan tip menolak jale. Namun memang, di media sebelumnya itu, tak ada aturan ketat perihal menerima amplop. Sehingga, ketika situasinya agak ribet, saya pernah memutuskan untuk menerimanya.

Selama beberapa detik saya sempat terdiam di tengah wawancara bersama Iwan dan Rusman. Kening berkerut dan tengkuk agak berkeringat. Mata saya sesekali melirik wajah dua pewawancara di depan yang terlihat datar. Bukan ingin terlihat dramatis, tapi saya membayangkan momentum itu mirip adegan film 12th Fail yang saya tonton beberapa malam sebelum bertolak ke Jakarta untuk mengikuti seleksi calon reporter Tempo.

Dalam film itu, terdapat adegan di mana Manoj Sharma—tokoh dalam film Bollywood itu—berhadapan dengan sejumlah juri di tahap terakhir seleksi menjadi Union Public Service Commission (UPSC) atau perwira polisi di India. Sebelum masuk ke ruangan wawancara, ia diberi nasihat oleh seseorang agar memberikan jawaban yang tidak jujur, agar terlihat pantas. “Jawab saja, nenekmu meninggal menjelang ujian,” kata petugas di luar ruangan wawancara kepada Manoj.

Manoj pernah gagal lulus di kelas 12. Alasannya karena ia tidak bisa menyontek. Sekolahnya punya tradisi memberikan contekan agar para siswa bisa lulus. Siswa di sekolah itu kebanyakan berasal dari keluarga terbelakang di kawasan kumuh Chambal, Bilgram, India. Namun apesnya saat itu ada seorang deputi polisi baru yang idealis di kawasan itu. Deputi polisi itu membongkar kedok sekolah menjelang ujian kelulusan. Sehingga Sharma pun gagal.

Di hadapan tim juri, Manoj menjawab apa adanya. Pewawancara utama di ruangan itu pun terheran, tidak melontarkan pertanyaan lanjutan dan menyuruhnya itu keluar. Namun selepas Manoj keluar, salah satu juri memberikan pertimbangan lain. Pertimbangan yang akhirnya membuat Manoj lolos, setelah gagal berulang kali di tahap tes tertulis.

Ingatan tentang film itu membuat pengakuan terlontar begitu saja, dengan mulusnya dari mulut saya: “Saya pernah menerima jale.”
Saya ceritakan kisah bagaimana saya, dulu terpaksa menerima pemberian narasumber. Waktu itu saya harus mewawancarai seorang pengusaha kuliner legendaris asal Yogyakarta yang gaya dan lakunya bak kiai, di dekat Terminal Jombor. Wawancara itu dilakukan tengah malam, karena ia harus menemui santri-santri didikannya terlebih dulu. Di media sebelumnya, saya memang kerap ditugaskan menulis hal-hal ringan, seperti mengenai kuliner dan kisah-kisah orang biasa.

Selepas wawancara tiba-tiba ia memberikan uang lima puluh ribu. Nominal yang tak seberapa. Tapi ia berkukuh agar saya menerima. Jika tidak menerima saya berdosa. Bahkan ia melontarkan alasan yang cukup nyeleneh agar saya menerima. “Untuk jimat saja, disimpan.” Kami sempat debat panjang. Tapi saya sudah terlampau mengantuk untuk berlama-lama di sana.

Tentu Rusman dan Iwan tidak puas dengan cerita saya. Mereka melontarkan pertanyaan lanjutan. Sampai muncul pertanyaan yang membuat saya kikuk. “Tadi katanya untuk jimat, akhirnya disimpan atau kamu pakai?”

Saya menjawab jujur. Uang itu terpakai karena sudah bercampur dengan uang lain di dompet, entah saya belanjakan apa waktu itu. Meski begitu saya menjelaskan bahwa pada situasi lain, saya akan tegas menolak tawaran-tawaran serupa—karena prinsip saya memang begitu. Dan akan tetap demikian jika diberikan kesempatan bergabung dengan Tempo.

Setelah itu, Iwan dan Rusman melempar pertanyaan lain. Tenaga saya seolah terkuras habis. Bibir dan tenggorokan rasanya kering. Mereka mungkin menyadari itu karena suara saya jadi agak serak. Ketika wawancara usai, saya menengok ke sekitar sambil menghela napas. Ternyata empat orang lain yang masuk bersama sudah pergi terlebih dahulu. Saya selesai paling lama.

Siang itu saya berjalan keluar gedung Tempo dengan pundak yang terasa berat. Berjalan gontai menuruni lift lalu langsung keluar. Saya membayangkan, kalau saja tadi saya mengarang cerita, menjawab saya belum pernah menerima jale. Tapi bayangan itu cepat-cepat saya singkirkan.

Tak disangka, beberapa waktu kemudian, sebuah pesan dari rekruiter Tempo kembali masuk. Isinya cukup menyenangkan: saya diterima bekerja di Tempo. Saya sempat berpikir, barangkali saya adalah kandidat urutan bontot di antara calon reporter yang ada. Tapi itu tak jadi soal. Akhir Agustus 2024 saya berangkat kembali ke Jakarta, memulai lembaran baru sebagai calon reporter Tempo.

Enam bulan berselang saya masih berkutat dengan hari-hari yang padat sebagai calon reporter Tempo. Sudah tak terhitung sudah berapa kali saya menolak pemberia atau jale selama liputan. Dari amplop tebal saat dinas luar kota sampai bingkisan jam tangan yang harganya nyaris setara gaji sebulan bekerja.

Di Tempo, menolak imbalan semacam itu bukan perkara berat. Tapi, kalau sang pemberi mempersoalkan, seorang senior pernah berpesan: “Sampaikan saja, kami sudah sangat berterima kasih bisa mendapat informasi yang penting. Tidak perlu uang perjalanan atau semacamnya.” Jika terdesak dan kondisi di lapangan sulit untuk menolak, mekanisme mitigasi dari kantor pun jelas. Bawa dulu ke kantor, serahkan ke ke sekretaris redaksi, dan mereka yang akan mengembalikan kepada pemberi. Saya merasa, prinsip ini bagian dari identitas yang turut membangun kredibilitas Tempo puluhan tahun belakangan. Hal yang perlu saya jaga setelah menjadi bagian di dalamnya.

Berbulan-bulan di Jakarta saya menyadari, barangkali jujur tidak kalah penting dari menolak jale. Dua hal yang tidak terpisahkan dalam integritas kerja jurnalis. Tanpa upaya untuk berterus terang, barangkali saya tidak berada di sini. Bersama orang-orang hebat di ruang redaksi.

deskripsi gambar
deskripsi gambar

Live

15 January 2025 | 19.00

Pagar makan lautan

Siapa yang memasang pagar di pesisir laut Tangerang?

Lihat Event Lainnya